Rabu, 14 Mei 2014

Oh!


Matahari mulai memancarkan cahyanya lebih terang dari yang kubayangkan. Seolah mengisyaratkan bahwa aku harus lebih cepat lagi untuk mengayuh sepeda warna biruku menyusuri jalan panjang menuju suatu tempat yang dimana aku dapat menuntut ilmu. Ya, tentu saja ke sekolahku. MTs Negeri 1 Pare. Sesekali aku mendongakkan wajahku ke atas. Berharap matahari mau bersembunyi sebentar di balik awan. Tapi sayang, sia sia.
Kuhentikan sepedaku saat aku melihat seseorang yang tak asing lagi bagiku, “Rahma!” teriakku keras. Orang yang kuyakini adalah Rahma akhirnya menoleh ke arahku tapi ada berbeda dengannya. Biasanya ia akan berteriak juga saat melihatku, tapi kali ini ia berbeda, ia hanya tersenyum simpul saat menatapku. “Ah mungkin dia sedang ada masalah” pikirku enteng.
Memang benar, mungkin ia sedang ada masalah karena sedari tadi ia hanya diam tanpa mengajakku mengobrol. Sesekali ku lirik Rahma dan berusaha mengajaknya untuk mengobrol tapi Rahma justru tak menggubrisku sama sekali. Entah apa yang membuatnya menjadi pendiam seperti ini. “Mungkin ia masih belum mau cerita” pikirku enteng lagi.
Hingga siang hari sikap acuhnya masih terus berlanjut, Rahma yang kukenal adalah teman yang sangat periang. Tak biasanya ia seperti ini, ditambah lagi kali ini ia tak keluar kelas. Ia justru sangat tekun mengerjakan soal matematika yang bahkan belum diajarkan. Padahal selama ini, Rahma adalah siswa yang sangat membenci pelajaran matematika. Entah mengapa aku merasa Rahma bukanlah Rahma yang ku kenal. Perlahan tapi pasti aku mulai mengajaknya mengobrol, bermodalkan snack kesukaannya aku duduk disampingnya, berharap ia meresponku. Kusodorkan snack kesukaannya dan mulai mengajaknya bicara, “Rahma ini buat kamu” ujarku sembari menatapnya. “Makasih Jihan” tuturnya tanpa menatapku. Aku hanya menarik nafas pelan. Cukup lama tak ada percakapan antara kami. Hingga kuberanikan diri untuk bertanya padanya, “Oh ya kamu kok tumben sih rajin banget. Salah makan ya?” tanyaku iseng. Berharap ia menggubrisku atau paling tidak menjawab pertanyaanku. Tapi yang kudapatkan justru hanya tatapan yang sama sekali tak ingin kudapatkan. Dengan cekatan aku segera meminta maaf, “Rahma maafkan aku jika perkataanku membuatmu tersinggung” ujarku tanpa menatapnya. Rahma justru tersenyum simpul ke arahku, dan hanya mengangguk pelan. Senyumnya sudah mengisyaratkan kepadaku bahwa ia memaafkanku. Aku berharap begitu.
Seharian penuh Rahma terasa sangat asing bagiku, aku sama sekali tak mengerti apa yang membuatnya menjadi seperti ini. Aku mencoba menerka apa yang sebenarnya terjadi padanya. Rahma yang kukenal kini menjadi jauh denganku. Aku berusaha mencari celah kesalahanku hingga ia bersikap acuh padaku hari ini. Tapi sayang, aku masih belum menemukannya. Bahkan hingga pulang sekolah, saat aku bertemu dengannya di jalan, Rahma sama sekali tak menyapaku. “Sial kau!” umpatku.
Keesokan harinya sudah kubulatkan tekadku untuk membalas perlakuannya kemarin padaku. Targetku hari ini adalah membuat Rahma merasa bersalah karena sudah bersikap acuh padaku. Kali ini aku berangkat lebih pagi dari biasanya, berharap Rahma belum tiba di sekolah, tapi sayang, Rahma justru berangkat lebih awal dariku. Tapi kali ini ia berbeda lagi, tidak seperti kemarin, kali ini sangat bersahabat. Bahkan hari ini ia justru yang banyak bicara. Aku sangat nyaman dengannya. Bahkan niatku untuk bersikap acuh padanya pudar sudah. Aku sangat senang Rahma kembali menjadi Rahma yang kukenal.
“Rahma aku seneng deh” bisikku pelan saat kami sedang di kantin.
“Senang kenapa, Han?” tanyanya menanggapiku. “Kamu kembali” jawabku sambil melahap snack terakhirku. Rahma hanya tersenyum lebar tanpa menjawabku. Kali ini aku sama sekali tak marah padanya walaupun ia tak menjawabku. Aku rasa sosok Rahma sahabat yang kukenal akhirnya kembali.
Seminggu berselang, sosok Rahma yang bersahabat kini hilang lagi. Rahma dengan sikap yang tak kuharapkan datang lagi, aku semakin kebingungan dengan kejanggalan kejanggalan yang semakin nyata. Apa yang sebenarnya terjadi pada Rahma sahabatku? Kadang ia menjadi Rahma yang kuharapkan kadang juga ia menjadi Rahma yang sangat ingin kuacuhkan.
Rasa penasaranku memuncak, saat pulang sekolah kubuntuti Rahma dari belakang hingga ia sampai di rumahnya. Mungkin aku bisa mencari tahu apa yang terjadi padanya. Pikirku saat itu. Setelah memasuki rumah, aku sangat tidak percaya dengan  pemandangan yang tersaji dihadapanku. Rahma ada dua. Wajah mereka sangat mirip. Apa yang sebenarnya terjadi? Kedua Rahma itu menghampiriku, salah satu diantara mereka tersenyum padaku, senyum yang sangat akrab bagiku. Tapi mengapa ia menggunakan seragam sekolah lain. “Jihan, maaf tidak memberitahumu. Aku Rahma yang asli. Dan ini Rahmi” Aku hanya terdiam bagai patung. Aku hanya menarik nafas panjang, “Jadi kalian kembar? Dan yang tadi ke sekolah itu Rahmi kembaranmu Rahma?” tanyaku dengan wajah bingung. “Iya. Kami memang kembar. Maaf ya karena tidak memberi tahumu” jawab Rahma dengan tatapan seperti merasa bersalah. “Iya Jihan maafkan kami, sebenarnya ini salahku, aku meminta Rahma untuk menjadi diriku dan aku menjadi Rahma. Dan maaf jika selama ini aku terkesan tidak memperdulikanmu, Jihan” ujar Rahmi yang juga ikut ikut minta maaf. Tak ada yang bisa aku lakukan lagi selain memaafkan mereka. “Aku juga minta maaf ya karena sudah berpikiran buruk. Maaf ya” ujarku yang juga ikut minta maaf. Keduanya hanya mengangguk pelan. “Jadi, kamu tidak benar benar mengacuhkanku kan Rahma?” tanyaku ke arah Rahma. “Tentu saja tidak, mana mungkin aku bisa mengacuhkan sahabat sepertimu Jihan” tuturnya sambil memelukku.
   Dan kini persahabatanku dengan Rahma tak lagi hanya berdua, tapi dengan kehadiran Rahmi persahabatan makin lengkap. 

*Kritik dan saran dibutuhkan*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar