Matahari
mulai memancarkan cahyanya lebih terang dari yang kubayangkan. Seolah
mengisyaratkan bahwa aku harus lebih cepat lagi untuk mengayuh sepeda warna
biruku menyusuri jalan panjang menuju suatu tempat yang dimana aku dapat
menuntut ilmu. Ya, tentu saja ke sekolahku. MTs Negeri 1 Pare. Sesekali aku
mendongakkan wajahku ke atas. Berharap matahari mau bersembunyi sebentar di
balik awan. Tapi sayang, sia sia.
Kuhentikan
sepedaku saat aku melihat seseorang yang tak asing lagi bagiku, “Rahma!” teriakku
keras. Orang yang kuyakini adalah Rahma akhirnya menoleh ke arahku tapi ada
berbeda dengannya. Biasanya ia akan berteriak juga saat melihatku, tapi kali
ini ia berbeda, ia hanya tersenyum simpul saat menatapku. “Ah mungkin dia
sedang ada masalah” pikirku enteng.
Memang
benar, mungkin ia sedang ada masalah karena sedari tadi ia hanya diam tanpa
mengajakku mengobrol. Sesekali ku lirik Rahma dan berusaha mengajaknya untuk
mengobrol tapi Rahma justru tak menggubrisku sama sekali. Entah apa yang
membuatnya menjadi pendiam seperti ini. “Mungkin ia masih belum mau cerita”
pikirku enteng lagi.
Hingga
siang hari sikap acuhnya masih terus berlanjut, Rahma yang kukenal adalah teman
yang sangat periang. Tak biasanya ia seperti ini, ditambah lagi kali ini ia tak
keluar kelas. Ia justru sangat tekun mengerjakan soal matematika yang bahkan
belum diajarkan. Padahal selama ini, Rahma adalah siswa yang sangat membenci
pelajaran matematika. Entah mengapa aku merasa Rahma bukanlah Rahma yang ku
kenal. Perlahan tapi pasti aku mulai mengajaknya mengobrol, bermodalkan snack
kesukaannya aku duduk disampingnya, berharap ia meresponku. Kusodorkan snack
kesukaannya dan mulai mengajaknya bicara, “Rahma ini buat kamu” ujarku sembari
menatapnya. “Makasih Jihan” tuturnya tanpa menatapku. Aku hanya menarik nafas
pelan. Cukup lama tak ada percakapan antara kami. Hingga kuberanikan diri untuk
bertanya padanya, “Oh ya kamu kok tumben sih rajin banget. Salah makan ya?”
tanyaku iseng. Berharap ia menggubrisku atau paling tidak menjawab pertanyaanku.
Tapi yang kudapatkan justru hanya tatapan yang sama sekali tak ingin
kudapatkan. Dengan cekatan aku segera meminta maaf, “Rahma maafkan aku jika
perkataanku membuatmu tersinggung” ujarku tanpa menatapnya. Rahma justru
tersenyum simpul ke arahku, dan hanya mengangguk pelan. Senyumnya sudah
mengisyaratkan kepadaku bahwa ia memaafkanku. Aku berharap begitu.
Seharian
penuh Rahma terasa sangat asing bagiku, aku sama sekali tak mengerti apa yang
membuatnya menjadi seperti ini. Aku mencoba menerka apa yang sebenarnya terjadi
padanya. Rahma yang kukenal kini menjadi jauh denganku. Aku berusaha mencari
celah kesalahanku hingga ia bersikap acuh padaku hari ini. Tapi sayang, aku
masih belum menemukannya. Bahkan hingga pulang sekolah, saat aku bertemu
dengannya di jalan, Rahma sama sekali tak menyapaku. “Sial kau!” umpatku.
Keesokan
harinya sudah kubulatkan tekadku untuk membalas perlakuannya kemarin padaku.
Targetku hari ini adalah membuat Rahma merasa bersalah karena sudah bersikap
acuh padaku. Kali ini aku berangkat lebih pagi dari biasanya, berharap Rahma
belum tiba di sekolah, tapi sayang, Rahma justru berangkat lebih awal dariku.
Tapi kali ini ia berbeda lagi, tidak seperti kemarin, kali ini sangat
bersahabat. Bahkan hari ini ia justru yang banyak bicara. Aku sangat nyaman
dengannya. Bahkan niatku untuk bersikap acuh padanya pudar sudah. Aku sangat
senang Rahma kembali menjadi Rahma yang kukenal.
“Rahma
aku seneng deh” bisikku pelan saat kami sedang di kantin.
“Senang
kenapa, Han?” tanyanya menanggapiku. “Kamu kembali” jawabku sambil melahap
snack terakhirku. Rahma hanya tersenyum lebar tanpa menjawabku. Kali ini aku
sama sekali tak marah padanya walaupun ia tak menjawabku. Aku rasa sosok Rahma
sahabat yang kukenal akhirnya kembali.
Seminggu
berselang, sosok Rahma yang bersahabat kini hilang lagi. Rahma dengan sikap
yang tak kuharapkan datang lagi, aku semakin kebingungan dengan kejanggalan
kejanggalan yang semakin nyata. Apa yang sebenarnya terjadi pada Rahma
sahabatku? Kadang ia menjadi Rahma yang kuharapkan kadang juga ia menjadi Rahma
yang sangat ingin kuacuhkan.
Rasa
penasaranku memuncak, saat pulang sekolah kubuntuti Rahma dari belakang hingga
ia sampai di rumahnya. Mungkin aku bisa mencari tahu apa yang terjadi padanya.
Pikirku saat itu. Setelah memasuki rumah, aku sangat tidak percaya dengan pemandangan yang tersaji dihadapanku. Rahma
ada dua. Wajah mereka sangat mirip. Apa yang sebenarnya terjadi? Kedua Rahma
itu menghampiriku, salah satu diantara mereka tersenyum padaku, senyum yang
sangat akrab bagiku. Tapi mengapa ia menggunakan seragam sekolah lain. “Jihan,
maaf tidak memberitahumu. Aku Rahma yang asli. Dan ini Rahmi” Aku hanya terdiam
bagai patung. Aku hanya menarik nafas panjang, “Jadi kalian kembar? Dan yang
tadi ke sekolah itu Rahmi kembaranmu Rahma?” tanyaku dengan wajah bingung. “Iya.
Kami memang kembar. Maaf ya karena tidak memberi tahumu” jawab Rahma dengan
tatapan seperti merasa bersalah. “Iya Jihan maafkan kami, sebenarnya ini
salahku, aku meminta Rahma untuk menjadi diriku dan aku menjadi Rahma. Dan maaf
jika selama ini aku terkesan tidak memperdulikanmu, Jihan” ujar Rahmi yang juga
ikut ikut minta maaf. Tak ada yang bisa aku lakukan lagi selain memaafkan
mereka. “Aku juga minta maaf ya karena sudah berpikiran buruk. Maaf ya” ujarku
yang juga ikut minta maaf. Keduanya hanya mengangguk pelan. “Jadi, kamu tidak
benar benar mengacuhkanku kan Rahma?” tanyaku ke arah Rahma. “Tentu saja tidak,
mana mungkin aku bisa mengacuhkan sahabat sepertimu Jihan” tuturnya sambil
memelukku.
Dan kini persahabatanku dengan Rahma tak
lagi hanya berdua, tapi dengan kehadiran Rahmi persahabatan makin lengkap.
*Kritik dan saran dibutuhkan*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar