Aku tak pernah
menyesal.
Namaku
tidaklah penting, asal usulku juga tak penting, segalanya tentangku sangat tak
penting. Bukan hendak menutupi, hanya saja memang digariskan untuk tertutup.
Siapa gerangan yang ingin mengetahui siapa aku, tak ada. Usia ku 30 tahun.
Perjalananku telah 30 tahun, dan kisah hidupku berjalan 30 tahun. Tidak ada
yang menarik dari kisahku selain kenyataan bahwa aku bodoh.
Usiaku
7 tahun kala itu. Putih merah adalah seragamku. Seperti halnya anak seumuranku,
aku pergi ke gudang ilmu, katanya. Tuntutlah
ilmu setinggi langit, kata orang bijak. Ibuku mengatakan hal sama, sekedar
meniru atau tahu makna? Entahlah, siapa peduli. Aku tak pernah menuntut apapun,
begitupun dengan ilmu.
Guruku
adalah orangtua kedua bagi kita, kata orang orang. Tugas adalah jembatan untuk
mendapat pengetahuan, mereka bilang begitu. Tidak untukku, guruku adalah
pengganggu tidur nyenyakku. Tugas adalah perusak kebebasanku. Aku tumbuh
berpegangan prinsip itu.
Putih
biru. Baju kebanggan usia belasan. Usiaku. Terjaga ditengah malam demi
mengerjakan sesuatu, itu hal yang asing. Berangkat pagi dan pulang sore, itu
hal yang membosankan. Aku malas melakukan semua hal konyol itu. Bagiku itu
percuma. Menghabiskan uang hanya untuk satu buku. Tiada guna.
Menginjak
usia 16 tahun, masa SMA adalah hal yang berkesan, masa yang tak terlupakan,
masa yang indah untuk di ingat. Itu masih kata mereka. Aku tak mengenal mereka
itu siapa, mengapa mereka mengatakan hal yang tak masuk masuk nalar. Aku juga
tak peduli apa yang mereka katakan, bagiku itu hanya kiasan.
Hidupku
pilihanku, orang lain mengganggu, abaikan dan pergilah berlalu. Menurutku
begitu. Ku lakukan apa yang menjadi inginku. Aku pergi ke kota mengikuti
seniorku. Bekerja di toko baju. Tak penting berapa receh yang kuterima, asal
bedak dan nasi terpenuhi sudah cukup buatku lega. Tak peduli apa kata mereka,
mereka hanya melihat dengan menghakimi. Seenak hati membuka lisan tanpa
perkiraan. Bermaksud menggurui dengan pepatah lama tanpa paham makna di
dalamnya.
Dari
usia 16 tahun hingga seperempat abad, tak pernah sekalipun aku beranjak dari
toko baju. Meski upah hanya cukup membeli gincu, aku tak pernah ragu akan
gengsiku. Tanpa perlu penjelasan, sudah jelas jika catatan hutangku sudah
menjadi buku. Tidak ada pilihan lagi selain melarikan diri, bersembunyi tanpa
perlu kembali. Menyebrangkan diri di pulau sepi penuhi, aku disini. Sendiri. Lima
tahun aku menetap, tanpa seorang sanak saudara. Bekerja seadanya demi
meneruskan nafas. Makan hari ini, mencari lagi esok hari.
Aku
mengatakan jika aku tak pernah menyesal, memang benar yang kukatakan. Tidak ada
penyesalan. Hidup itu pilihan, inilah kehidupan. Aku mengatakan jika aku tak
pernah menyesal, memang benar yang kukatakan. Percuma menyesal di masa tua, tak
ada guna, semua telah berlalu, masa muda itu telah pergi. Aku mengatakan jika
aku tak pernah menyesal, memang benar yang kukatakan. Saat ini aku tidak butuh
rasa menyesal, aku hanya ingin kembali.
Kembali
ke waktu seragam putih merah di badanku, mengerjakan tugas seperti teman
temanku, menganggap guru sebagai ibu. Kembali ke waktu itu.
Kembali
ke waktu seragam putih biru menjadi kebanggaan usia belasan saat itu,
sepertiku. Kembali ke waktu itu.
Kembali
ke waktu dimana seharusnya aku melanjutkan pendidikan dan mengikuti kata kata
mereka itu. Seharusnya begitu. Kembali ke waktu itu.
Berani
memikirkan segala kemungkinan, aku kembali memikirkan jika aku menuntut ilmu
dikala itu, aku mungkin bisa melampui diriku dan kenyataanku. Masih mungkin.
Apa salahnya dengan mungkin? Tidak, tidak ada yang salah.
Aku
tak pernah menyesali masa mudaku yang tak peduli dengan ilmu. Sama sekali tidak
ada prasangka penyesalan, hanya saja diusiaku yang semakin tua, aku hanya
mengharapkan kembali dan memulai segalanya dari awal. Menata hidupku dengan
ilmu, mengisi segala hampa dengan ilmu, dan beranjak dewasa dengan ilmu. Masa
mudaku itu akankah kembali? Tidak. Aku harus memulai dari sini. Berakhir atau
bertahan? Biarkan aku yang tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar